Percepatan Mobil Listrik Dikejar, Infrastruktur Masih Tertinggal
Indonesia tengah mempercepat adopsi kendaraan listrik (EV) dengan dukungan insentif pajak dan target ambisius. Penjualan EV tumbuh pesat hingga 15% pada 2024 dan diproyeksikan naik dua kali lipat pada 2030. Namun, perkembangan ini terbentur kendala infrastruktur pengisian daya yang masih sangat terbatas. Jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) hanya ratusan unit dan terpusat di kota besar, jauh tertinggal dibanding laju pertumbuhan jumlah EV. Kondisi ini membuat konsumen masih ragu untuk beralih karena khawatir kesulitan mengisi daya di perjalanan. Hingga kini, pembangunan SPKLU lebih banyak bergantung pada BUMN energi, sementara investasi swasta masih minim. Jika infrastruktur tidak segera dipercepat, ambisi Indonesia menjadi pusat industri EV hanya akan berhenti di atas kertas.

Eksplora.id – Indonesia tengah berlari kencang menuju era kendaraan listrik (EV). Data Gaikindo dan proyeksi lembaga riset internasional menyebutkan, penetrasi EV di tanah air terus merangkak naik, bahkan sudah mencapai 15 persen pada 2024 dan diprediksi bisa menembus hampir 30 persen di tahun 2030. Pemerintah pun mengguyur dengan insentif pajak, mulai dari pembebasan PPnBM hingga diskon PPN untuk mobil listrik dan hybrid.
Namun, langkah percepatan ini menghadapi batu sandungan besar: infrastruktur pengisian daya yang masih jauh dari memadai. Hingga awal 2025, jumlah Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) di Indonesia masih ratusan unit, sangat timpang dibandingkan kebutuhan nyata di lapangan. Distribusinya pun menumpuk di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bali, sementara daerah lain masih kesulitan menemukan titik pengisian daya.
Antara Ambisi dan Realitas
Di satu sisi, ambisi Indonesia menjadi pemain utama di pasar EV Asia Tenggara cukup jelas. Produksi kendaraan listrik mulai menggeliat dengan masuknya merek global dan lokal yang berinvestasi. Pemerintah bahkan menargetkan Indonesia bisa menjadi pusat manufaktur EV berkat cadangan nikel yang besar.
Namun, tanpa dukungan infrastruktur memadai, konsumen masih ragu untuk beralih. Kekhawatiran klasik muncul: bagaimana jika baterai habis di jalan tol yang panjang tanpa SPKLU, atau saat mudik ke daerah yang belum terjangkau fasilitas pengisian? Keraguan ini nyata, dan berpotensi memperlambat laju adopsi EV di pasar domestik.
Investasi yang Masih Mengandalkan Negara
Hingga kini, pengembangan infrastruktur pengisian masih sangat bergantung pada BUMN energi. Keterlibatan swasta memang mulai terdengar, tetapi belum masif. Tanpa percepatan investasi sektor swasta, pertumbuhan SPKLU akan selalu kalah cepat dibanding pertumbuhan penjualan mobil listrik.
Pasar EV Indonesia punya potensi luar biasa, tapi kalau infrastruktur tidak ikut dibangun, kita hanya akan mencetak angka penjualan sementara tanpa keberlanjutan.
Grafik: EV vs SPKLU di Indonesia
Berikut data sederhana yang menggambarkan pertumbuhan jumlah EV dan SPKLU di Indonesia dalam tiga tahun terakhir:
Terlihat jelas, laju pertumbuhan kendaraan listrik jauh meninggalkan pembangunan infrastruktur pengisian daya.
Jalan Panjang Menuju Ekosistem EV
Jika pemerintah serius menggenjot target transisi energi bersih melalui EV, maka pembangunan ekosistem harus dilakukan secara paralel: produksi, pasar, insentif, dan infrastruktur. Bukan hanya SPKLU di perkotaan, melainkan juga jalur antarprovinsi dan kawasan wisata.
Tanpa itu semua, percepatan mobil listrik hanya akan menjadi ambisi di atas kertas, sementara konsumen tetap terjebak pada keraguan. Indonesia boleh punya nikel, investasi, dan pabrik EV, tetapi ekosistem tak akan utuh bila stasiun pengisian masih tertinggal.