Mewah, Penjaga Sawah dan Penjaga Tradisi dari Dusun Sitalang
Tradisi mewah di Dusun Sitalang, Salatiga, bukan sekadar orang-orangan sawah, tapi simbol spiritual dan kearifan lokal yang menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Eksplora.id - Di tengah arus modernisasi dan mekanisasi pertanian yang kian deras, Dusun Sitalang di Salatiga, Jawa Tengah, masih setia mempertahankan tradisi agraris yang sarat makna: mewah, orang-orangan sawah khas yang tidak hanya berfungsi sebagai pengusir hama, tetapi juga sebagai simbol spiritual dan kebudayaan yang hidup.
Bagi masyarakat Sitalang, sawah bukan sekadar tempat bercocok tanam. Ia adalah ruang sakral yang menyatukan manusia, alam, dan kekuatan spiritual yang mereka yakini. Di sinilah mewah berperan — menjadi penjaga sawah, penghubung manusia dengan alam, sekaligus wujud penghormatan kepada Dewi Sri, dewi kesuburan dalam kepercayaan Jawa.
Makna Simbolik di Balik Wujud Mewah
Secara fisik, mewah terlihat sederhana: tubuhnya dari bambu, kepalanya dari batok kelapa atau kain bekas, dan rambutnya dari ijuk atau jerami. Namun di balik kesederhanaan itu, setiap detail mengandung makna simbolik yang dalam. Rambut panjang mewah melambangkan kehidupan dan kesuburan yang terus tumbuh, sementara warna hijau dan kuning yang dominan pada tubuhnya mencerminkan harapan akan panen yang melimpah dan keberkahan dari bumi.
Mewah juga menjadi penanda batas antara dunia sakral dan dunia profan. Saat seorang petani memasang mewah di sawahnya, itu bukan sekadar tindakan fungsional untuk menakuti burung pemakan padi. Ia adalah ritual kecil yang menandai bahwa lahan itu telah “dihidupkan”, menjadi ruang kerja dan doa, tempat manusia berinteraksi dengan kekuatan alam semesta.
Ritual dan Kearifan Lokal yang Menyatu dengan Alam
Proses pembuatan dan pemasangan mewah biasanya dilakukan secara gotong royong. Para petani melakukannya dengan penuh rasa hormat, kadang disertai doa dan sesaji sederhana seperti bunga, kemenyan, atau nasi tumpeng kecil. Tujuannya bukan semata meminta hasil panen berlimpah, tetapi juga memohon keseimbangan: agar manusia, hewan, dan alam bisa hidup berdampingan tanpa saling merugikan.
Kearifan lokal ini mencerminkan filosofi “memayu hayuning bawana” — menjaga harmoni dan keindahan dunia. Bagi warga Sitalang, sawah bukan hanya sumber ekonomi, tapi juga ruang spiritual yang perlu dijaga keseimbangannya. Itulah sebabnya tradisi mewah masih dijalankan hingga kini, meski banyak petani lain di luar daerah mulai meninggalkannya.
Warisan Budaya yang Terus Hidup di Tengah Perubahan Zaman
Seiring kemajuan teknologi pertanian, banyak tradisi lokal yang mulai pudar. Namun di Dusun Sitalang, mewah tetap bertahan sebagai bagian dari identitas budaya masyarakatnya. Anak-anak muda di sana mulai diajarkan sejak kecil tentang makna mewah — bukan hanya cara membuatnya, tetapi juga nilai-nilai yang terkandung di dalamnya: kerja keras, rasa syukur, dan penghormatan kepada alam.
Beberapa kelompok tani bahkan menjadikan mewah sebagai ikon desa wisata budaya, mengajak pengunjung untuk belajar langsung membuat orang-orangan sawah sambil memahami filosofi di baliknya. Dari kegiatan itu, mereka tak hanya melestarikan budaya, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru melalui wisata edukatif.
Penjaga Sawah, Penjaga Nilai Hidup
Mewah mungkin terlihat sederhana, berdiri diam di tengah hamparan padi yang menghijau. Namun di balik diamnya, ia menyimpan cerita panjang tentang hubungan manusia dan alam yang saling bergantung. Ia menjadi saksi bagaimana masyarakat Sitalang menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas, antara ritual dan realitas hidup.
Dalam dunia yang serba cepat dan digital, mewah mengingatkan kita untuk tetap berpijak pada bumi, menghargai proses, dan menjaga warisan budaya sebagai bagian dari identitas bangsa. Karena sesungguhnya, di balik sehelai jerami dan sebatang bambu itu, ada pesan sederhana tapi mendalam: bahwa menjaga alam berarti menjaga kehidupan itu sendiri.***
Baca juga artikel lainnya :
indonesia-dinobatkan-sebagai-negara-paling-sering-tersenyum-di-dunia

