Kampung Adat Cireundeu: Tradisi Rasi Singkong yang Jadi Simbol Ketahanan Pangan dan Identitas Budaya
Kampung Adat Cireundeu di Cimahi mempertahankan tradisi makan rasi, beras singkong yang menjadi simbol ketahanan pangan dan identitas budaya. Simak sejarah, proses, dan potensi ekonominya.
Eksplora.id - Di tengah dominasi budaya makan nasi di Indonesia, Kampung Adat Cireundeu di Cimahi, Jawa Barat, tampil sebagai contoh unik sekaligus kuat tentang bagaimana tradisi dan kearifan lokal mampu membentuk ketahanan pangan. Warga kampung adat ini memilih singkong sebagai makanan pokok, yang kemudian diolah menjadi “rasi” atau beras singkong—sebuah praktik pangan yang telah berlangsung lebih dari seratus tahun.
Fenomena ini bukan sekadar pilihan diet, tetapi cerminan perjalanan sejarah, filosofi hidup, serta keteguhan komunitas dalam mempertahankan identitas budaya mereka.
Jejak Sejarah: Dari Krisis Lahan ke Kearifan Pangan
Tradisi mengonsumsi rasi bermula pada awal abad ke-20, ketika wilayah Cireundeu dilanda kekeringan dan keterbatasan sawah. Situasi ini membuat warga sulit mengakses beras padi sebagai makanan pokok. Sebagai respons, para tetua adat melakukan inovasi pangan: memilih tanaman yang lebih tahan kekeringan, mudah dibudidayakan, dan melimpah di wilayah mereka—yaitu singkong.
Keputusan itu bukan hanya pragmatis, tetapi menjadi dasar perubahan pola pangan yang diwariskan lintas generasi. Dari sinilah rasi lahir dan berkembang menjadi identitas kuliner sekaligus simbol perjuangan komunitas.
Teknik Pengolahan Rasi: Dari Umbi hingga “Nasi”
Rasi diolah melalui proses panjang yang memadukan teknik tradisional dan efisiensi praktis. Singkong terlebih dahulu dikupas, dicuci, kemudian digiling hingga menjadi butiran lembut. Tahap berikutnya adalah pembentukan granul, yaitu proses membuat butiran kecil menyerupai beras.
Rasi kemudian ditanak atau dikukus seperti nasi biasa, menghasilkan tekstur pulen namun ringan, dengan rasa khas singkong yang tidak menyengat. Pengolahan ini memungkinkan singkong menjadi alternatif pangan yang tidak kalah layak dibandingkan beras padi.
Bagi masyarakat Cireundeu, rasi bukan pengganti sementara, tetapi bentuk komitmen budaya. Mereka percaya bahwa makanan mencerminkan nilai hidup; karenanya, di dalam adat berlaku aturan yang melarang konsumsi beras padi bagi anggota komunitas.
Simbol Identitas dan Solidaritas Komunitas
Di balik wujudnya yang sederhana, rasi memainkan peran besar sebagai simbol identitas kolektif. Mengonsumsi rasi adalah cara warga menunjukkan kebanggaan atas leluhur, sekaligus memperkuat solidaritas di antara anggota kampung adat.
Aturan adat yang mengatur pola konsumsi ini tidak dipandang sebagai larangan keras, melainkan pedoman hidup yang menumbuhkan kemandirian. Dengan memilih singkong yang bisa ditanam di tanah sendiri, masyarakat Cireundeu mempraktikkan prinsip hidup selaras alam, jauh sebelum istilah sustainability dikenal luas.
Strategi Ketahanan Pangan Berbasis Lokal
Praktik makan rasi membuktikan bahwa ketahanan pangan tidak selalu harus mengandalkan komoditas tunggal. Dengan memanfaatkan tanaman yang sesuai dengan kondisi ekologis wilayah, komunitas dapat mandiri tanpa rentan terhadap fluktuasi harga beras atau gangguan pasokan nasional.
Singkong yang tahan kekeringan membuat Cireundeu mampu menghadapi perubahan musim maupun iklim ekstrem. Dalam konteks modern, pola ini relevan bagi banyak daerah yang berupaya mencari alternatif pangan lokal untuk mengurangi ketergantungan pada beras.
Potensi Ekonomi: Dari Warisan Budaya ke Daya Tarik Wisata Gastronomi
Secara ekonomis, rasi memiliki nilai tambah yang terus berkembang. Sebagai kuliner tradisi yang unik, rasi menjadi daya tarik wisata budaya dan gastronomi. Banyak pengunjung datang untuk melihat langsung proses pengolahan, mencicipi rasi, hingga membeli produk olahan singkong lainnya.
Pengembangan ini membuka peluang kesejahteraan bagi warga, mulai dari penjualan rasi kemasan, pelatihan pengolahan singkong, hingga kegiatan wisata edukasi. Seluruh proses tetap dilakukan dengan menjaga nilai-nilai adat agar tidak menghilangkan esensi tradisi.
Dengan perpaduan antara nilai budaya, inovasi pangan, dan peluang ekonomi, Cireundeu menjadi contoh penting bahwa keberlanjutan dapat lahir dari tradisi yang dijaga dengan sepenuh hati.***
Baca juga artikel lainnya :
nasi-singkong-dan-kaldu-kokot-makanan-khas-madura-yang-mulai-dikenal-luas

