Ikan Sidat, Juara Omega-3 Dunia dari Indonesia yang Kini Terancam Punah
Ikan sidat Indonesia terbukti punya omega-3 tertinggi di dunia. Namun populasinya terancam. Pemerintah kini membatasi ekspor dan kuota tangkap demi kelestarian.
Eksplora.id - Ikan sidat mungkin belum sepopuler salmon di pasar global, tetapi para peneliti sudah lama mengetahui bahwa kandungan gizinya berada di kelas tertinggi dunia. Temuan terbaru dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) semakin mempertegas hal itu: ikan sidat asal Indonesia memiliki kadar omega-3 — terutama DHA dan EPA — tertinggi di dunia, bahkan melebihi salmon yang selama ini dianggap sebagai rajanya omega-3. Fakta ini langsung menempatkan sidat sebagai salah satu komoditas laut paling bernilai tinggi dan potensial untuk industri pangan masa depan.
Namun di balik potensi emas tersebut, sidat justru berada dalam situasi yang mengkhawatirkan. Permintaan pasar global melonjak, tetapi kemampuan alam untuk memulihkannya tidak secepat laju penangkapan. Populasinya menurun, terutama karena eksploitasi berlebihan terhadap glass eel, fase benih sidat yang sangat rentan dan bernilai mahal.
Kandungan Omega-3 Tertinggi di Dunia
Penelitian BRIN mengungkapkan bahwa sidat Indonesia mengandung kombinasi DHA dan EPA yang melebihi banyak spesies ikan lainnya, termasuk salmon, tuna, maupun sarden. Tingginya kandungan omega-3 inilah yang menjadikan sidat sangat dicari untuk kebutuhan pangan fungsional, suplemen kesehatan, hingga industri kuliner.
Keunggulan ini sebenarnya peluang besar bagi Indonesia untuk memperkuat industri perikanan bernilai tinggi. Bila dikelola dengan serius, sidat dapat menjadi komoditas strategis yang mendatangkan devisa dan membuka lapangan kerja — mulai dari pembudidayaan, pengolahan, sampai ekspor produk premium.
Ancaman Serius: Penangkapan Glass Eel Berlebihan
Di sisi lain, sidat adalah ikan dengan siklus hidup kompleks. Ia menetas di laut lepas, bermigrasi ribuan kilometer ke sungai, lalu kembali ke laut ketika dewasa. Pada fase glass eel — tahap paling muda setelah menetas — sidat menjadi incaran karena harganya bisa mencapai jutaan rupiah per kilogram.
Selama bertahun-tahun, penangkapan glass eel secara masif terjadi tanpa pengendalian yang memadai. Hal ini menyebabkan penurunan populasi drastis, terutama di sungai-sungai besar di Jawa dan Sumatra.
Tanpa intervensi, Indonesia bisa kehilangan salah satu kekayaan biodiversitas paling berharga.
Pemerintah Batasi Ekspor dan Kuota Tangkap
Menyadari situasi kritis ini, pemerintah kini mengambil langkah tegas. Regulasi baru mengatur pembatasan ekspor glass eel dan menetapkan kuota tangkap yang lebih ketat di wilayah-wilayah habitat alami sidat.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga mulai mendorong pembudidayaan sidat secara berkelanjutan. Langkah ini bertujuan menjaga populasi liar agar tidak habis diburu serta memastikan pasokan industri tetap terpenuhi tanpa mengorbankan kelestarian alam.
Pendekatan konservasi ini sejalan dengan tren global yang menuntut praktik perikanan berkelanjutan untuk menjaga keseimbangan ekosistem.
Peluang Industri Sidat Indonesia
Meski menghadapi tantangan kelestarian, potensi ekonomi sidat masih sangat besar. Jepang — pasar sidat terbesar dunia — masih mengandalkan impor karena produksi domestiknya terus menurun. Ini membuka peluang ekspor bernilai tinggi bagi Indonesia, terutama jika budidaya dilakukan dengan standar ramah lingkungan.
Beberapa daerah seperti Jawa Barat, Bengkulu, dan Sulawesi sudah mulai mengembangkan model budidaya modern, mulai dari hatchery hingga sistem pembesaran intensif. Dengan dukungan riset BRIN dan kebijakan pemerintah, industri sidat bisa berkembang menjadi kekuatan baru ekonomi biru Indonesia.
Menjaga Sidat, Menjaga Masa Depan
Ikan sidat adalah kekayaan yang tidak boleh dibiarkan punah. Kandungan gizinya yang luar biasa, nilai ekonominya yang tinggi, serta statusnya sebagai spesies asli Indonesia menjadikannya aset penting yang perlu dijaga.
Jika konservasi, riset, dan industri dapat berjalan seiring, Indonesia bukan hanya mampu menjaga populasinya tetap lestari, tetapi juga menjadikan sidat sebagai komoditas unggulan dunia. Ini saatnya melihat sidat bukan hanya sebagai ikan konsumsi, tetapi sebagai simbol keberlanjutan dan masa depan industri pangan nasional.**
Baca juga artikel lainnya :
mengenang-penemu-ikan-mujair-dari-masa-kolonial-pendudukan-jepang-hingga-orde-baru

