Ketika Kredit Perbankan Tak Ramah UMKM: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?

Porsi kredit perbankan Indonesia masih didominasi korporasi besar, sementara UMKM—tulang punggung ekonomi nasional—hanya kebagian sedikit. Mengapa kesenjangan akses pembiayaan ini terus terjadi?

Oct 31, 2025 - 22:56
 0  1
Ketika Kredit Perbankan Tak Ramah UMKM: Siapa yang Sebenarnya Diuntungkan?
sumber foto : perbarindo

Eksplora.id - Di atas kertas, pemerintah dan perbankan selalu menyebut UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional, menyerap lebih dari 97% tenaga kerja dan berkontribusi sekitar 60% terhadap PDB nasional.
Namun, ketika bicara soal akses kredit perbankan, ceritanya berubah drastis: sebagian besar kue pembiayaan justru dinikmati oleh korporasi besar.

Menurut data Bank Indonesia, dari total kredit perbankan nasional yang nilainya lebih dari Rp7.000 triliun, porsi untuk UMKM hanya sekitar 21%–23%.
Artinya, lebih dari tiga perempat kredit justru disalurkan ke sektor besar yang sudah mapan, memiliki agunan kuat, dan hubungan panjang dengan bank.


Mengapa UMKM Masih Sulit Akses Kredit?

Ada beberapa alasan klasik mengapa UMKM masih sulit menjangkau pembiayaan formal:

  1. Kurangnya agunan yang layak.
    Banyak pelaku usaha mikro tidak punya aset tetap yang bisa dijaminkan ke bank.

  2. Administrasi dan pembukuan lemah.
    Sebagian besar UMKM tidak memiliki laporan keuangan yang memenuhi standar perbankan.

  3. Risiko dianggap tinggi.
    Bagi bank, menyalurkan kredit ke ribuan usaha kecil dinilai lebih berisiko dan mahal dibanding satu perusahaan besar yang nilainya triliunan.

  4. Proses birokrasi rumit.
    Pengajuan kredit masih panjang, memakan waktu, dan sering membuat pelaku usaha kecil menyerah di tengah jalan.


Dampaknya: Kesenjangan Ekonomi Makin Melebar

Akibat kesenjangan akses kredit ini, pertumbuhan ekonomi tidak merata.
Korporasi besar makin mudah ekspansi, sementara UMKM kesulitan naik kelas, padahal mereka yang paling banyak menciptakan lapangan kerja.

Tanpa dukungan pembiayaan yang memadai, banyak usaha kecil bertahan di level subsisten—hanya cukup untuk hidup, bukan berkembang.

Ironisnya, di saat sektor mikro berjuang mencari modal Rp50 juta saja, perusahaan besar dengan aset triliunan bisa mendapat pinjaman berbunga rendah hanya dengan proposal bisnis dan jaminan reputasi.


Jalan Keluar: Reformasi Sistem Pembiayaan UMKM

Agar sistem keuangan lebih adil dan inklusif, ada beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan:

  • Perbankan harus berani memperluas portofolio kredit UMKM dengan pendekatan berbasis karakter dan kelayakan usaha, bukan hanya agunan.

  • Digitalisasi keuangan bisa dimanfaatkan untuk menilai profil risiko UMKM secara lebih akurat.

  • Pemerintah dan lembaga penjamin kredit (seperti Jamkrindo dan Askrindo) harus memperkuat skema penjaminan agar risiko perbankan menurun.

  • LPDB, fintech, dan koperasi modern perlu diposisikan sebagai jembatan pembiayaan bagi usaha kecil di daerah yang tidak terjangkau bank.


Kesimpulan

Selama sistem kredit masih berpihak pada korporasi besar, kesenjangan ekonomi akan terus bertahan.
UMKM yang menjadi urat nadi ekonomi bangsa butuh lebih dari sekadar slogan dan program seremonial.
Yang mereka butuhkan adalah akses nyata ke modal kerja yang adil, cepat, dan berpihak.

Karena tanpa keberpihakan yang nyata, UMKM hanya akan terus disebut pahlawan ekonomi—tanpa pernah benar-benar diberdayakan.***

Baca juga artikel lainnya :

dorong-lapangan-kerja-wagub-lampung-serahkan-kur-kepada-pelaku-umkm