Human Composting: Cara Ramah Lingkungan Mengakhiri Kehidupan dengan Menumbuhkan Kehidupan Baru

Human composting atau kompos manusia menjadi tren baru sebagai alternatif pemakaman ramah lingkungan. Proses ini mengubah tubuh manusia menjadi tanah subur, memberi makna baru tentang kehidupan setelah kematian.

Nov 1, 2025 - 23:16
 0  4
Human Composting: Cara Ramah Lingkungan Mengakhiri Kehidupan dengan Menumbuhkan Kehidupan Baru
Sumber foto : Instagram

Eksplora.id - Selama berabad-abad, manusia mengenal dua cara utama untuk mengakhiri perjalanan hidup seseorang: dikubur atau dikremasi. Namun, kini muncul pilihan ketiga yang lebih ramah lingkungan — human composting, atau pengomposan manusia.

Konsep ini berasal dari gagasan bahwa tubuh manusia, yang berasal dari alam, seharusnya juga kembali ke alam dengan cara yang memberi manfaat ekologis. Alih-alih meninggalkan jejak karbon dari kremasi atau lahan makam yang luas, metode ini mengubah tubuh menjadi tanah subur yang bisa menumbuhkan kehidupan baru.


Apa Itu Human Composting?

Human composting, atau disebut juga “natural organic reduction”, adalah proses di mana tubuh manusia diuraikan secara alami dengan bantuan mikroorganisme, kelembapan, dan suhu tertentu hingga berubah menjadi tanah kompos yang kaya nutrisi.

Prosesnya berlangsung dalam wadah khusus berbentuk silinder yang berisi bahan organik seperti serbuk kayu, alfalfa, dan jerami. Dalam waktu sekitar 30–45 hari, tubuh akan terurai sepenuhnya, menghasilkan tanah humus sekitar 0,7–1 meter kubik.

Tanah ini kemudian bisa dikembalikan ke keluarga untuk ditabur di taman, hutan konservasi, atau area penghijauan — benar-benar mengembalikan manusia kepada bumi secara utuh.


Mengapa Disebut Ramah Lingkungan?

Berbeda dengan proses kremasi yang menghasilkan karbon dioksida dalam jumlah besar atau pemakaman konvensional yang memerlukan peti dan formalin, human composting tidak mencemari lingkungan.

Beberapa alasan mengapa metode ini disebut eco-friendly:

  1. Tanpa Emisi Karbon Besar:
    Human composting menghasilkan 1/8 emisi karbon dibandingkan kremasi, menurut Recompose, perusahaan pertama yang menawarkan layanan ini di AS.

  2. Menghemat Ruang dan Energi:
    Tidak memerlukan lahan pemakaman luas atau energi panas tinggi seperti pada kremasi.

  3. Memberi Kembali ke Alam:
    Tanah hasil kompos digunakan untuk menyuburkan tanaman dan memperbaiki ekosistem tanah, menjadikan kematian sebagai bagian dari siklus kehidupan.


Dari Amerika ke Dunia

Konsep ini pertama kali disahkan secara hukum di negara bagian Washington, Amerika Serikat, pada 2019, dan kini diikuti oleh Oregon, Colorado, Vermont, New York, serta California.
Beberapa perusahaan seperti Recompose, Return Home, dan Earth Funeral menjadi pelopor industri ini, dengan permintaan yang terus meningkat terutama dari kalangan muda dan aktivis lingkungan.

Menurut data National Funeral Directors Association (NFDA), minat terhadap metode pemakaman ramah lingkungan meningkat hingga 50% dalam lima tahun terakhir di AS. Fenomena ini menunjukkan perubahan cara pandang masyarakat terhadap kematian — bukan lagi akhir, tapi transisi menuju kehidupan baru bagi bumi.


Bagaimana Pandangan Etika dan Agama?

Meski ramah lingkungan, human composting masih menuai perdebatan etis dan religius di berbagai negara.
Sebagian pihak menilai cara ini terlalu “modern” dan berpotensi menghapus nilai spiritual pemakaman. Namun, banyak juga yang berpendapat bahwa konsep “kembali ke tanah” justru sejalan dengan ajaran banyak agama yang menekankan kesederhanaan dan penghormatan terhadap alam.

Beberapa teolog dan ahli bioetika bahkan menyebut metode ini sebagai “evolusi alami dari pemakaman tradisional”, karena tetap menghormati tubuh manusia sambil menjaga kelestarian lingkungan.


Menuju Masa Depan yang Lebih Hijau

Human composting bukan sekadar inovasi dalam dunia pemakaman, tetapi simbol perubahan kesadaran manusia terhadap hubungan antara kehidupan dan bumi.
Metode ini memberi pesan mendalam: bahwa kematian bukanlah akhir yang sia-sia, melainkan kontribusi terakhir kita untuk kehidupan.

Dengan meningkatnya kesadaran global terhadap perubahan iklim dan keberlanjutan, bukan tidak mungkin di masa depan pengomposan manusia akan menjadi praktik umum, terutama bagi mereka yang ingin meninggalkan dunia dengan cara yang selaras dengan alam.


Kembali ke Alam, dengan Cara yang Mulia

Human composting menawarkan perspektif baru tentang kehidupan dan kematian. Ia mengajak kita untuk berpikir lebih dalam tentang bagaimana kita hidup, dan bagaimana kita kembali ke bumi.

Dari tubuh yang bertransformasi menjadi tanah subur, tumbuhlah pohon, bunga, dan kehidupan baru.
Sebuah lingkaran alami yang mengingatkan kita bahwa setiap akhir bisa menjadi awal baru — jika kita memilih untuk hidup selaras dengan alam.***

Baca juga artikel lainnya :

misteri-pohon-tarumenyan-di-desa-trunyan-penjaga-alam-yang-menyerap-bau-jenazah