MUI Terbitkan Fatwa Pajak Berkeadilan: Sembako dan Kebutuhan Primer Tidak Boleh Dipajaki
Munas XI MUI menetapkan fatwa pajak berkeadilan. MUI menegaskan sembako, rumah, dan kebutuhan primer tidak boleh dipungut pajak karena bertentangan dengan prinsip keadilan dan tujuan pemungutan pajak.
Eksplora.id - Musyawarah Nasional (Munas) XI Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir pekan lalu menghasilkan satu keputusan penting yang langsung menarik perhatian publik: fatwa tentang pajak berkeadilan. Dalam fatwa tersebut, MUI menegaskan bahwa kebutuhan primer masyarakat, terutama sembako, tidak boleh dikenakan pajak dalam bentuk apa pun.
Fatwa ini muncul sebagai respons atas meningkatnya diskusi publik mengenai struktur pajak, beban hidup masyarakat, serta prinsip keadilan dalam pemungutan pajak. MUI menilai bahwa pajak seharusnya tidak menambah beban bagi kelompok masyarakat yang masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar.
Sembako dan Rumah Tempat Tinggal Tidak Layak Dipajaki
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Ni’am Sholeh, menjelaskan bahwa inti dari fatwa tersebut adalah prinsip keadilan dan perlindungan terhadap kebutuhan hidup paling mendasar.
Dalam keterangannya yang dikutip dari laman resmi MUI, Selasa (25/11/2025), Ni’am menyampaikan:
“Pungutan pajak terhadap sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok seperti sembako, serta rumah dan bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak.”
Menurut MUI, kebutuhan primer seperti beras, minyak goreng, air bersih, hingga tempat tinggal merupakan hak dasar setiap warga negara. Pengenaan pajak terhadap barang-barang ini dinilai dapat memperburuk kondisi masyarakat berpenghasilan rendah.
Pajak Sebaiknya Menyasar Aset Produktif dan Kebutuhan Non-Esensial
Fatwa MUI itu tidak hanya menyatakan apa yang tidak boleh dipajaki, tetapi juga memberikan pedoman mengenai apa yang boleh dikenakan pajak. Ni’am menegaskan bahwa pajak seharusnya dipungut dari:
-
Harta yang memiliki potensi produktivitas
-
Kebutuhan sekunder (hajiyat)
-
Kebutuhan tersier (tahsiniyat)
Dengan demikian, barang mewah, aset investasi, properti non-primer, kendaraan dengan nilai tertentu, hingga aktivitas konsumsi berlebihan masih termasuk kategori yang pantas untuk dipungut pajak.
Prinsip ini selaras dengan tujuan pajak dalam perspektif syariah, yakni menjaga kemaslahatan, mencegah ketimpangan, dan memastikan distribusi beban keuangan negara tidak merugikan masyarakat kecil.
Dorongan untuk Reformasi Pajak yang Lebih Adil
Fatwa ini dipandang sejumlah pihak sebagai dorongan moral bagi pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan perpajakan, khususnya terkait barang kebutuhan pokok. Dalam konteks ekonomi nasional yang masih memulihkan diri, penghapusan atau penyesuaian pajak sembako dapat menjadi langkah strategis untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
Fatwa MUI juga menyinggung pentingnya memastikan bahwa kebijakan pajak memiliki tujuan kemaslahatan, bukan sekadar instrumen fiskal. Keadilan pajak dianggap sebagai fondasi kesejahteraan sosial, terutama bagi masyarakat kelas bawah.
Relevansi Fatwa di Tengah Tekanan Ekonomi
Dengan terus naiknya harga kebutuhan pokok dan meningkatnya biaya hidup, pesan MUI dianggap relevan dengan kondisi aktual. Banyak analis menilai bahwa rekomendasi MUI dapat menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah dalam merancang kebijakan fiskal yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Fatwa ini bukan aturan hukum yang mengikat, tetapi sering kali menjadi rujukan penting dalam diskusi publik maupun kebijakan pemerintah. Dalam konteks perpajakan, pandangan MUI menegaskan perlunya keberpihakan pada kelompok rentan dan memastikan bahwa kebijakan fiskal tidak berpotensi menambah beban hidup masyarakat.**
Baca juga artikel lainnya :

