Penurunan IQ di Indonesia Mendekati Rentang Kognitif IQ Gorila
Dokter bedah saraf Ryu Hasan mengungkap penurunan IQ masyarakat Indonesia dari 109,6 menjadi 78,4 dan menyebut jika turun 8 poin lagi bisa mendekati rentang IQ gorila. Apa penyebabnya dan apa dampaknya bagi masa depan bangsa?
Eksplora.id - Dokter bedah saraf dan akademisi, dr. Ryu Hasan, memicu diskusi publik usai mengungkap temuan survei lama terkait tingkat kecerdasan (IQ) masyarakat Indonesia. Pernyataan itu ia sampaikan dalam podcast Endgame bersama Gita Wirjawan, dengan mengacu pada data yang ia kumpulkan pada tahun 1986.
Menurut dr. Ryu, survei IQ yang ia lakukan saat masih menjadi mahasiswa kedokteran menunjukkan bahwa rata-rata IQ anak-anak di tujuh kecamatan di Kabupaten Kediri mencapai 109,6. Hal ini diukur pada siswa SD, SMP, dan SMA sebagai bagian dari tugas akademik saat itu.
Namun, ia menilai bahwa angka tersebut berbeda jauh dengan rata-rata IQ masyarakat Indonesia saat ini, yang menurut beberapa survei global berada di kisaran 78,4. Penurunan ini, kata Ryu, menunjukkan adanya tantangan besar dalam kualitas pendidikan, gizi, stimulasi kognitif, serta perkembangan anak.
“Kalau kita turun delapan poin lagi dari angka 78, itu sudah masuk ke rentang IQ gorila,” ujar dr. Ryu dalam podcast tersebut.
Ia merujuk pada berbagai estimasi ilmiah yang menempatkan rentang kecerdasan gorila pada angka 70–90, sehingga ia menilai penurunan IQ manusia Indonesia perlu menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan dan kesehatan nasional.
Mengapa Bisa Menurun? Ryu Sebut Ada Faktor Gizi & Pendidikan
Dalam penjelasannya, dr. Ryu menekankan bahwa penurunan kualitas kecerdasan tidak terjadi secara tiba-tiba. Ia menyebut beberapa faktor yang berpotensi memengaruhi perkembangan IQ, seperti:
-
Pola makan dan asupan gizi anak
-
Kualitas pendidikan dasar
-
Minimnya stimulasi kognitif sejak dini
-
Kurangnya literasi dan budaya membaca
-
Lingkungan tumbuh yang kurang mendukung perkembangan otak anak
Menurutnya, perkembangan otak manusia sangat bergantung pada nutrisi, interaksi, dan pendidikan, terutama pada periode emas 0–5 tahun. Jika pada masa tersebut asupan gizi dan rangsangan otak rendah, dampaknya bisa permanen.
Pakar Ingatkan Pentingnya Membaca Data Secara Kontekstual
Meski pernyataan dr. Ryu memicu diskusi luas, sejumlah pakar mengingatkan bahwa perbandingan antar-era dan antar-survei IQ tidak bisa dilakukan secara langsung, karena:
-
Metode pengukuran bisa berbeda
-
Sampel populasi tidak identik
-
Variasi standar internasional berubah dari waktu ke waktu
Namun, banyak pakar sepakat bahwa isu penurunan kualitas pendidikan, gizi buruk, hingga rendahnya minat literasi memang nyata dan memengaruhi perkembangan kognitif generasi muda Indonesia.
Alarm Serius bagi Indonesia
Pernyataan dr. Ryu menjadi pengingat keras bahwa kualitas sumber daya manusia tidak boleh diabaikan. Di tengah persaingan global, kemampuan kognitif, literasi, dan kecerdasan anak bangsa menjadi pondasi masa depan.
Saat ini Indonesia masih menghadapi:
-
Angka stunting yang tinggi
-
Kualitas literasi dasar yang rendah
-
Ketimpangan pendidikan antarwilayah
-
Minimnya akses buku dan pendidikan awal
Jika tidak diatasi, tantangan ini berpotensi menurunkan kualitas SDM secara jangka panjang.
Pernyataan dr. Ryu Hasan membuka kembali diskusi penting tentang masa depan kecerdasan bangsa. Meski data dari berbagai era tidak bisa disetarakan begitu saja, pesan utamanya jelas: Indonesia harus memperkuat gizi, pendidikan dasar, dan literasi untuk mencegah penurunan kualitas kognitif generasi berikutnya.***
Baca juga artikel lainnya :

