Natal Diganti Ultah Nenek Kim Jong Un, Ini Kebijakan Unik Korea Utara
Korea Utara melarang perayaan Natal dan menggantinya dengan peringatan ulang tahun Kim Jong Suk, nenek Kim Jong Un. Kebijakan ini mencerminkan sikap rezim terhadap agama dan kontrol ideologi negara.
Eksplora.id - Perayaan Natal yang di banyak negara identik dengan sukacita, ibadah, dan kebersamaan keluarga justru tidak mendapat tempat di Korea Utara. Sejak beberapa tahun terakhir, rezim Pyongyang secara tegas melarang rakyatnya merayakan Natal. Kebijakan ini kembali menjadi sorotan setelah muncul fakta bahwa Kim Jong Un meminta warga Korea Utara untuk mengalihkan perayaan Natal menjadi peringatan ulang tahun neneknya, Kim Jong Suk.
Larangan ini bukan kebijakan baru yang muncul tiba-tiba. Akar kebijakannya dapat ditelusuri sejak 25 Desember 2016, ketika Kim Jong Un secara resmi melarang segala bentuk perayaan Natal di negaranya. Sejak saat itu, Natal tidak lagi dipandang sebagai hari besar keagamaan, melainkan sebagai simbol pengaruh asing yang harus dihapus dari kehidupan masyarakat Korea Utara.
Ulang Tahun Kim Jong Suk sebagai Pengganti Natal
Sebagai pengganti Natal, Kim Jong Un mendorong rakyatnya untuk memperingati ulang tahun Kim Jong Suk yang jatuh pada malam Natal, 24 Desember. Kim Jong Suk merupakan sosok penting dalam sejarah Korea Utara. Ia adalah istri Kim Il Sung, pendiri sekaligus diktator pertama Korea Utara, serta ibu dari Kim Jong Il, ayah Kim Jong Un.
Dalam narasi resmi negara, Kim Jong Suk digambarkan sebagai pahlawan revolusi dan simbol kesetiaan pada perjuangan Kim Il Sung. Oleh karena itu, peringatan hari kelahirannya dijadikan momentum ideologis yang dianggap lebih “layak” untuk dirayakan ketimbang Natal yang berakar dari tradisi keagamaan.
Rakyat Korea Utara diarahkan untuk menghabiskan waktu liburan akhir tahun dengan berziarah ke makam Kim Jong Suk, mengikuti kegiatan resmi negara, dan memperkuat kesetiaan pada keluarga Kim. Aktivitas ini secara tidak langsung menggantikan makna Natal dengan kultus individu terhadap keluarga penguasa.
Sikap Keras Terhadap Agama
Kebijakan ini mempertegas sikap Kim Jong Un yang sejak lama menunjukkan sentimen negatif terhadap agama dan kepercayaan. Korea Utara dikenal sebagai salah satu negara dengan pembatasan kebebasan beragama paling ketat di dunia. Aktivitas keagamaan di luar kendali negara dianggap sebagai ancaman terhadap ideologi Juche dan loyalitas mutlak kepada pemimpin.
Pada 2014, Kim Jong Un bahkan melarang pemasangan dekorasi Natal di berbagai wilayah Korea Utara. Pohon Natal, lampu hias, maupun simbol keagamaan lainnya dianggap sebagai bentuk infiltrasi budaya asing, khususnya dari dunia Barat dan Korea Selatan.
Ketegangan dengan Korea Selatan
Kebijakan anti-Natal ini juga tidak lepas dari dinamika hubungan Korea Utara dan Korea Selatan. Ketegangan sempat meningkat ketika Korea Selatan menyatakan rencana pemasangan pohon Natal raksasa di wilayah perbatasan antara kedua negara. Bagi Pyongyang, simbol tersebut bukan sekadar dekorasi, melainkan bentuk provokasi ideologis.
Reaksi keras Korea Utara menunjukkan bahwa isu Natal bukan hanya soal agama, tetapi juga bagian dari perang simbol dan propaganda antara dua Korea yang memiliki sistem politik dan ideologi bertolak belakang.
Natal, Ideologi, dan Kontrol Negara
Larangan perayaan Natal di Korea Utara menggambarkan bagaimana negara menggunakan kontrol budaya dan ideologi untuk mempertahankan kekuasaan. Dengan mengganti perayaan keagamaan menjadi penghormatan terhadap tokoh keluarga Kim, rezim tidak hanya menghapus pengaruh agama, tetapi juga memperkuat kultus individu yang menjadi fondasi kekuasaan mereka.
Bagi masyarakat luar, kebijakan ini mungkin terlihat ekstrem. Namun di Korea Utara, langkah tersebut merupakan bagian dari strategi panjang untuk memastikan bahwa tidak ada loyalitas lain selain kepada negara dan pemimpinnya. Natal pun akhirnya berubah makna, bukan lagi tentang kelahiran dan harapan, melainkan tentang penguatan simbol kekuasaan dinasti Kim.**
Baca juga artikel lainnya :
korea-utara-buka-program-pertukaran-pelajar-sinyal-baru-keterbukaan-pendidikan

