Penulisan Ulang Sejarah Nasional: Antara Upaya Meluruskan Narasi dan Bayang-Bayang Kontroversi
Pemerintah tengah menggarap proyek penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia yang melibatkan lebih dari 100 sejarawan dan akademisi. Proyek ini bertujuan menghadirkan narasi sejarah yang lebih komprehensif dan relevan bagi generasi muda. Namun, rencana tersebut menuai kontroversi karena dikhawatirkan berpotensi mengaburkan peristiwa kelam bangsa. Beberapa tokoh, termasuk arkeolog senior Prof. Harry Truman Simanjuntak, menyuarakan kritik keras terhadap proses yang dinilai tergesa-gesa dan kurang transparan.

Eksplora.id – Pemerintah Indonesia tengah menggarap proyek besar penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia (SNI) yang digadang-gadang akan menjadi narasi resmi perjalanan bangsa, dari masa prasejarah hingga era modern. Gagasan ini pertama kali mencuat pada awal 2024, ketika Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menilai perlunya pembaruan terhadap buku sejarah yang selama ini menjadi rujukan utama.
Awal Mula Gagasan
Dorongan penulisan ulang sejarah tidak lepas dari kesadaran bahwa banyak peristiwa penting dalam perjalanan bangsa masih luput dari catatan resmi. Beberapa catatan sejarah lama dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan riset terbaru. Selain itu, banyak tokoh dan peristiwa yang dinilai belum memperoleh tempat layak dalam ingatan kolektif bangsa.
Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon, yang juga dikenal memiliki perhatian khusus terhadap sejarah, menyebut proyek ini penting sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam menghadirkan catatan sejarah yang lebih komprehensif. “Kita tidak boleh terjebak dalam versi tunggal sejarah. Indonesia kaya dengan jejak peradaban yang perlu dituliskan secara jujur, utuh, dan berdasarkan riset,” ujarnya dalam sebuah forum diskusi.
Tujuan dan Harapan
Pemerintah menegaskan bahwa penulisan ulang sejarah bukan sekadar mengganti isi buku, melainkan menghadirkan perspektif baru sesuai perkembangan ilmu pengetahuan. Tujuannya agar generasi muda dapat memahami perjalanan bangsa dengan lebih kritis dan objektif, serta menumbuhkan kebanggaan nasional.
Selain itu, proyek ini diharapkan menjadi bahan rujukan akademik yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, sekaligus menjawab kritik lama bahwa sejarah nasional sering ditulis dengan perspektif penguasa.
Tim Penulis dan Skala Proyek
Lebih dari 100 sejarawan, arkeolog, dan akademisi dari berbagai perguruan tinggi dilibatkan dalam proyek ini. Mereka dibagi dalam tim sesuai periode sejarah, mulai dari prasejarah, kerajaan-kerajaan Nusantara, masa kolonial, pergerakan nasional, hingga era reformasi dan kontemporer.
Kementerian menargetkan 10 jilid buku akan diterbitkan. Naskah awal seharusnya rampung pada 17 Agustus 2025 bertepatan dengan HUT RI ke-80. Namun, jadwal tersebut mengalami penundaan karena dinamika internal dan kritik publik.
Kontroversi dan Kritik
Meski membawa semangat pembaruan, proyek ini tidak lepas dari sorotan tajam. Sejumlah kalangan akademisi menilai ada risiko terjadinya revisionisme sejarah yang bisa mengaburkan peristiwa-peristiwa kelam, seperti tragedi 1965–1966, penculikan aktivis menjelang reformasi, maupun kerusuhan Mei 1998.
Arkeolog senior Prof. Harry Truman Simanjuntak bahkan memilih mundur dari tim, dengan alasan terdapat banyak kejanggalan dalam proses penyusunan, mulai dari jadwal yang terburu-buru hingga minimnya diskursus terbuka di kalangan akademisi. “Sejarah tidak bisa ditulis secara tergesa-gesa. Ia membutuhkan ruang debat akademik yang sehat,” tegasnya.
Selain itu, Komisi X DPR RI turut mengingatkan agar pemerintah bersikap transparan. Menurut anggota DPR dari fraksi PDIP, Putra Nababan, keterlibatan publik penting agar sejarah tidak ditulis secara sepihak. “Sejarah adalah milik bangsa, bukan milik rezim. Karena itu, prosesnya harus terbuka dan inklusif,” ujarnya.
Menimbang Masa Depan Sejarah Nasional
Kontroversi yang menyelimuti proyek ini menunjukkan betapa sensitifnya penulisan sejarah di Indonesia. Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, melainkan juga arena pertarungan narasi dan legitimasi.
Apakah proyek ini akan melahirkan karya monumental yang memperkaya khazanah bangsa, atau justru menimbulkan kecurigaan publik, masih menjadi pertanyaan terbuka. Yang jelas, upaya menghadirkan sejarah nasional yang lebih jujur, utuh, dan transparan, merupakan pekerjaan besar yang tidak bisa hanya dijawab dengan target waktu semata.