Menakar Ketahanan Ekonomi Indonesia dan Lampung di Tengah Tekanan Global
Perekonomian Indonesia, termasuk Lampung, tengah berada di persimpangan. Meski Lampung mencatat deflasi dan surplus perdagangan, pelaku usaha kecil masih terbebani ongkos logistik serta fluktuasi harga pasar. Pemerintah perlu memperkuat ekosistem lokal melalui koperasi, akses kredit murah, dan distribusi yang efisien. Stabilitas makro tidak boleh berhenti di angka statistik, melainkan harus benar-benar dirasakan masyarakat lewat harga wajar, pendapatan layak, dan peluang kerja yang merata.

Kondisi perekonomian Indonesia, termasuk Lampung sebagai salah satu penopang sektor pertanian nasional, saat ini berada pada fase penuh tantangan. Di tingkat global, ketidakpastian ekonomi masih dipicu oleh fluktuasi harga pangan, energi, hingga dinamika geopolitik. Dampaknya tidak bisa dihindari: daya beli masyarakat melemah, sektor usaha mikro menjerit, sementara pemerintah dituntut menjaga stabilitas inflasi.
Lampung menjadi contoh menarik. Data terbaru menunjukkan provinsi ini justru mengalami deflasi, salah satunya akibat penghapusan biaya komite sekolah yang berimbas pada berkurangnya beban rumah tangga. Namun di sisi lain, pelaku usaha kecil masih menghadapi persoalan klasik: ongkos logistik tinggi, keterbatasan akses modal, hingga daya serap pasar yang fluktuatif. Kondisi ini menimbulkan paradoks: ekonomi makro terlihat stabil, tetapi ekonomi mikro masih penuh kegelisahan.
Indonesia memang patut diapresiasi karena mampu menjaga neraca perdagangan dalam posisi surplus, termasuk Lampung yang tercatat sebagai salah satu penyumbang ekspor komoditas utama. Tetapi pertanyaan kritisnya, apakah surplus tersebut benar-benar dirasakan masyarakat di akar rumput? Harga singkong, kopi, dan cabai di tingkat petani masih kerap jatuh, sementara harga di pasar konsumen melonjak. Celah inilah yang memperlihatkan belum optimalnya tata kelola rantai pasok.
Pemerintah daerah bersama perguruan tinggi seperti ITERA sudah mulai melangkah dengan membangun basis riset dan inovasi. Ini langkah positif, tetapi harus dibarengi dengan keberanian memutus rantai panjang distribusi. Tanpa perbaikan ekosistem pasar, Lampung hanya akan menjadi lumbung pangan tanpa nilai tambah maksimal bagi petani dan pelaku UMKM.
Di tingkat nasional, strategi menjaga daya beli masyarakat tidak cukup hanya dengan bantuan sosial atau subsidi sesaat. Diperlukan keberpihakan pada ekonomi lokal: memperkuat koperasi, memperluas akses kredit murah, dan membangun jalur distribusi yang efisien. Jika tidak, kita akan terus terjebak pada siklus lama: pertumbuhan ekonomi tercatat stabil di atas kertas, namun masyarakat di lapangan merasakan sebaliknya.
Ekonomi bukan sekadar angka statistik, melainkan denyut hidup masyarakat. Lampung dan Indonesia secara keseluruhan membutuhkan kebijakan yang berpihak, bukan hanya menjaga stabilitas, tetapi juga menumbuhkan rasa keadilan ekonomi. Karena pada akhirnya, indikator keberhasilan bukan hanya deflasi atau surplus ekspor, melainkan apakah rakyat bisa hidup dengan harga yang wajar, pendapatan yang layak, dan kesempatan kerja yang terbuka.