Bupati Lampung Tengah Bayar Utang Kampanye Pakai Uang Suap Proyek
Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya diduga membayar utang kampanye Rp5,25 miliar dari uang suap proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemkab Lampung Tengah.
Eksplora.id - Kasus dugaan korupsi kembali menyeret kepala daerah. Kali ini, Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya (AW) diduga menggunakan uang hasil suap untuk membayar utang kampanye Pemilihan Kepala Daerah 2024. Nilai utang yang dibayarkan tidak kecil, mencapai Rp5,25 miliar, dan dilakukan setelah Ardito resmi menjabat sebagai bupati.
Uang tersebut bukan berasal dari sumber pribadi atau dana resmi, melainkan dari pengondisian proyek pengadaan barang dan jasa di lingkungan Pemerintah Kabupaten Lampung Tengah. Praktik ini menunjukkan bagaimana biaya politik yang tinggi kerap berujung pada penyalahgunaan kewenangan setelah kandidat terpilih.
Modus Fee Proyek Pengadaan
Dalam praktiknya, Ardito diduga meminta fee sebesar 15 hingga 20 persen dari sejumlah proyek yang dibiayai APBD Lampung Tengah. Proyek-proyek tersebut mencakup pengadaan barang dan jasa yang sejatinya dialokasikan untuk kepentingan publik, seperti pembangunan infrastruktur, peningkatan layanan masyarakat, hingga pelaksanaan program prioritas daerah.
Fee dari para rekanan inilah yang kemudian dikumpulkan secara bertahap. Berdasarkan penyelidikan, uang suap tersebut diterima Ardito dalam rentang waktu Februari hingga November 2025. Total dana yang berhasil dihimpun mencapai Rp5,25 miliar, jumlah yang diduga kuat digunakan untuk melunasi utang kampanye Pilkada 2024.
Pengondisian Proyek di Berbagai Dinas
Tidak hanya berhenti pada satu jenis pengadaan, Ardito juga diduga aktif mengatur proyek di sejumlah satuan kerja perangkat daerah. Salah satu yang disorot adalah pengadaan jasa alat kesehatan di Dinas Kesehatan Lampung Tengah. Dalam kasus ini, Ardito disebut melibatkan Anton, Pelaksana Tugas Kepala Badan Pendapatan Daerah Lampung Tengah.
Melalui pengondisian tersebut, penunjukan vendor diduga sudah direncanakan sejak awal, sehingga proses pengadaan tidak berjalan secara terbuka dan kompetitif. Praktik ini membuka ruang suap, sekaligus menutup peluang bagi penyedia lain yang seharusnya bisa bersaing secara sehat.
Dampak Langsung ke Kepentingan Publik
Kasus ini menimbulkan kekhawatiran serius karena dana yang menjadi objek suap sejatinya diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat luas. Anggaran pembangunan infrastruktur, layanan publik, dan sektor kesehatan adalah tulang punggung kesejahteraan warga. Ketika sebagian dana tersebut “dipotong” untuk membayar utang politik, kualitas pembangunan dan pelayanan publik berpotensi menurun.
Selain itu, praktik fee proyek juga menciptakan lingkaran setan korupsi. Rekanan yang sudah membayar fee cenderung menekan kualitas pekerjaan agar tetap mendapat keuntungan. Akibatnya, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan, baik secara ekonomi maupun sosial.
Cermin Biaya Politik yang Mahal
Kasus Ardito Wijaya kembali menegaskan persoalan klasik dalam demokrasi Indonesia, yakni mahalnya biaya politik. Utang kampanye yang besar sering kali menjadi beban setelah kandidat terpilih. Tanpa sistem pengawasan yang kuat dan integritas pemimpin yang kokoh, utang tersebut berisiko “dibayar” melalui penyalahgunaan kekuasaan.
Fenomena ini juga menunjukkan pentingnya transparansi pendanaan kampanye serta penguatan sistem pencegahan korupsi di daerah. Tanpa pembenahan serius, praktik serupa berpotensi terus berulang di berbagai wilayah.
Proses Hukum dan Tanggung Jawab
Kasus dugaan suap ini kini menjadi perhatian aparat penegak hukum. Aliran dana, peran rekanan, serta keterlibatan pejabat lain di lingkungan Pemkab Lampung Tengah menjadi fokus penyelidikan. Publik menunggu proses hukum berjalan transparan dan adil, agar memberikan efek jera sekaligus memulihkan kepercayaan masyarakat.
Kasus ini bukan sekadar soal individu, tetapi gambaran nyata bagaimana penyalahgunaan kewenangan bisa terjadi ketika kepentingan politik bercampur dengan pengelolaan anggaran publik. Masyarakat berharap, penegakan hukum yang tegas dapat menjadi pelajaran agar kekuasaan benar-benar digunakan untuk melayani, bukan untuk melunasi utang politik.**
Baca juga artikel lainnya :
bupati-termuda-di-indonesia-sosok-inspiratif-dari-purbalingga-kelahiran-1996

