Potret Ironi Rendahnya Minat Baca di Indonesia

Budaya literasi di Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar. Di tengah gempuran teknologi informasi dan hiburan digital, minat baca masyarakat justru kian memprihatinkan.

Apr 7, 2025 - 21:43
 0  3
Potret Ironi Rendahnya Minat Baca di Indonesia
sumber foto : gg

Eksplora.id - Budaya literasi di Indonesia masih menyisakan pekerjaan rumah yang besar. Di tengah gempuran teknologi informasi dan hiburan digital, minat baca masyarakat justru kian memprihatinkan. Salah satu potret menyedihkan dari krisis literasi ini terlihat di Lorong Buku Batavia, sebuah tempat penjualan buku di kawasan Pasar Gembrong, Jakarta Timur.

Irwan, pemilik salah satu kios buku di sana, membiarkan buku-buku dagangannya tergeletak di luar toko tanpa pengawasan. Bukan karena kepercayaan tinggi pada keamanan lingkungan, melainkan karena kesadaran pahit bahwa buku-buku itu tak cukup menarik bagi siapa pun untuk dicuri.

“Ya kalau hilang bukunya, berarti Indonesia mau pintar,” ujar Irwan sambil tersenyum getir.

Ucapan tersebut bukan sekadar candaan, melainkan cerminan dari kenyataan ironis: bahkan pencuri pun tak menganggap buku sebagai barang berharga. Ini menjadi simbol nyata betapa rendahnya apresiasi masyarakat terhadap literasi dan pengetahuan.


Krisis Literasi di Indonesia

Menurut data UNESCO, indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001—artinya, dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar punya minat baca tinggi. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain di Asia, bahkan dari sesama negara berkembang.

Minat baca yang rendah ini berdampak luas, mulai dari kualitas pendidikan, produktivitas generasi muda, hingga kemampuan berpikir kritis masyarakat. Ketika buku tak lagi menjadi bagian dari gaya hidup atau kebutuhan utama, maka proses pembangunan sumber daya manusia pun terhambat.

Irwan yang telah menjual buku selama lebih dari satu dekade mengaku, dalam sehari ia hanya bisa menjual satu hingga dua buku. Konsumen yang datang pun umumnya adalah mahasiswa atau pelajar yang membutuhkan referensi tugas, bukan pembaca aktif yang datang karena hobi atau keingintahuan.

“Yang beli biasanya anak kuliah cari skripsi. Jarang banget ada yang datang cuma buat baca santai,” kata Irwan.


Buku Tak Dilirik, Gawai Diserbu

Fenomena ini juga tak lepas dari kemajuan teknologi yang tak dibarengi dengan literasi digital yang memadai. Alih-alih memanfaatkan internet untuk membaca, banyak masyarakat lebih memilih konten visual dan hiburan instan. Akibatnya, budaya baca semakin terpinggirkan.

Hal ini diperparah dengan mahalnya harga buku di tengah daya beli masyarakat yang rendah. Bagi keluarga berpenghasilan menengah ke bawah, membeli buku bukanlah prioritas. Padahal, investasi dalam pendidikan dan literasi jangka panjang justru sangat menentukan masa depan.


Upaya yang Masih Kurang

Pemerintah sebenarnya telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan budaya literasi, seperti Gerakan Literasi Nasional (GLN) dan penyediaan perpustakaan keliling. Namun, implementasinya masih belum merata dan cenderung seremonial. Banyak sekolah kekurangan koleksi buku yang layak, dan akses terhadap bacaan berkualitas masih menjadi tantangan di banyak daerah.

Di sisi lain, pegiat literasi seperti Irwan terus berjuang dengan caranya sendiri. Meski hasilnya tak seberapa, ia tetap berharap buku bisa kembali memiliki tempat di hati masyarakat.

“Kalau buku aja nggak dianggap penting, terus kita mau belajar dari mana?” tutupnya.


Saatnya Literasi Jadi Prioritas

Rendahnya minat baca bukan hanya masalah pendidikan, tapi juga masalah budaya dan kebijakan. Perlu sinergi dari semua pihak—pemerintah, sekolah, komunitas, hingga orang tua—untuk menumbuhkan cinta baca sejak dini.

Buku yang dibiarkan tanpa pengawasan namun tetap tak dicuri, adalah simbol yang seharusnya menyadarkan kita semua: bahwa kita tengah menghadapi darurat literasi. Jika tak segera diatasi, maka kita bukan hanya kehilangan pembaca, tapi juga kehilangan masa depan yang cerdas.

Baca juga artikel lainnya :

swedia kembali ke buku cetak efektifkah untuk indonesia