Layar Tancep Cilandak: Tradisi Nonton Bareng yang Hangatkan Jakarta Selatan
Jakarta Selatan, atau yang lebih akrab disebut Jaksel, selama ini dikenal sebagai kawasan modern yang dipenuhi gedung pencakar langit, kafe kekinian, dan tempat-tempat hiburan bergengsi.

Eksplora.id - Jakarta Selatan, atau yang lebih akrab disebut Jaksel, selama ini dikenal sebagai kawasan modern yang dipenuhi gedung pencakar langit, kafe kekinian, dan tempat-tempat hiburan bergengsi. Tapi, siapa sangka? Di balik semua itu, masih ada ruang untuk tradisi yang membumi dan sarat makna kebersamaan. Salah satunya adalah tradisi layar tancep yang masih lestari di Jl. Lebak Bulus V, RT 06/RW 04, Cilandak Barat.
Di tengah hiruk-pikuk aktivitas kota yang tak pernah tidur, warga di lingkungan ini tetap setia menjaga tradisi menonton film bareng di bawah langit malam. Acara nonton bareng layar tancep ini bukan sekadar tontonan, tapi menjadi perekat sosial yang mempertemukan berbagai generasi dalam suasana santai dan penuh kehangatan.
Layar Tancep: Menyulam Kenangan dan Kebersamaan
Setiap kali acara layar tancep digelar, suasana di sekitar lokasi berubah menjadi meriah. Tikar-tikar digelar di tanah lapang, anak-anak berlarian sambil menenteng camilan, dan para orang tua duduk bersama, menikmati nostalgia masa lalu. Meski hanya berbekal layar putih dan proyektor, kehangatan yang tercipta begitu terasa.
“Kami ingin anak-anak zaman sekarang juga merasakan seperti apa rasanya nonton bareng di kampung, bukan hanya di bioskop atau lewat gawai,” ujar salah satu warga yang menjadi panitia pelaksana.
Film yang diputar pun beragam, dari film keluarga hingga film pendek lokal yang sarat pesan moral. Penayangan dimulai saat langit mulai gelap, dan yang paling seru: tidak ada bangku khusus. Semua duduk sama rata di atas tikar, berbagi tawa dan ekspresi bersama.
Di Tengah Modernitas, Tradisi Ini Jadi Napas Komunitas
Di kota sebesar Jakarta, khususnya Jakarta Selatan, kebersamaan kadang terasa mahal. Waktu dan perhatian lebih banyak tersita oleh pekerjaan, media sosial, dan urusan pribadi. Tapi di Cilandak Barat, layar tancep hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap itu semua—sebuah ajakan diam-diam untuk berhenti sejenak, berkumpul, dan saling mengenal lebih dalam.
Tak sedikit warga yang membawa makanan ringan dari rumah untuk dibagi-bagikan. Ada yang membawa gorengan, ada yang menyuguhkan teh manis hangat dalam termos, semua dilakukan tanpa pamrih. Suasana ini menciptakan ruang inklusif yang sulit ditemukan di tengah kota.
“Kami berharap tradisi seperti ini bisa terus hidup, apalagi di tengah dunia yang makin digital. Manusia tetap butuh koneksi nyata, bukan sekadar interaksi lewat layar ponsel,” tambah salah satu warga lansia dengan senyum haru.
Daya Tarik Sosial yang Bernilai Edukatif
Selain sebagai hiburan, layar tancep di Cilandak juga dimanfaatkan sebagai sarana edukasi. Sesekali, film-film bertema lingkungan, budaya lokal, atau sejarah Indonesia diputar untuk menambah wawasan penonton. Anak-anak yang sebelumnya hanya mengenal film lewat YouTube atau Netflix, kini bisa menyaksikan tontonan yang lebih kaya makna dalam suasana komunal.
Panitia juga sesekali mengundang komunitas film indie atau sineas lokal untuk mempresentasikan karya mereka. Ini menjadi jembatan antara dunia seni dengan masyarakat akar rumput.
Potensi Wisata Budaya Lokal di Tengah Kota
Tradisi layar tancep ini menyimpan potensi besar sebagai daya tarik wisata budaya lokal. Jakarta Selatan, dengan segala modernitasnya, justru bisa menjual sisi humanis ini kepada dunia luar. Kegiatan seperti ini bisa menjadi contoh bahwa kota metropolitan tidak selalu harus dingin dan individualistik. Masih ada ruang untuk nilai-nilai lokal, gotong royong, dan tradisi yang menyejukkan hati.
Bagi pengunjung dari luar daerah atau wisatawan, nonton layar tancep bisa menjadi pengalaman yang unik dan membekas. Tidak heran jika ke depan, acara seperti ini bisa dikembangkan sebagai bagian dari paket wisata budaya Jakarta Selatan.
Layar Tancep, Cermin Identitas Komunitas
Kebiasaan nonton bareng di halaman terbuka seperti ini memang sederhana. Tapi justru dari kesederhanaannya, kita bisa belajar banyak hal: tentang toleransi, tentang saling berbagi, dan tentang pentingnya hadir secara utuh untuk orang-orang di sekitar kita.
Di tengah gempuran budaya global dan gaya hidup yang serba instan, layar tancep jadi penanda bahwa Jaksel bukan cuma soal tren, tapi juga soal tradisi dan rasa. Masih ada ruang untuk tertawa bersama, berbagi cerita, dan menghargai akar budaya yang telah ada jauh sebelum kafe instagramable dan mall-mall megah berdiri.
Layar tancep di Cilandak bukan sekadar hiburan malam, tapi cermin dari identitas warga yang hangat, guyub, dan penuh cinta akan budaya sendiri. Semoga tradisi seperti ini terus dijaga, karena dari sinilah kita belajar bahwa Jakarta Selatan masih punya hati.
Baca juga artikel lainnya :
bukan eks eks wan tapi dwimono cerita menarik di balik nama bioskop xxi