Krisis Pangan Bergizi di Negeri Surga: Ironi Ketahanan Pangan Indonesia

Indonesia dikenal sebagai negeri agraris dengan tanah yang subur, kaya akan keanekaragaman hayati, dan disebut-sebut sebagai “tanah surga”

Apr 12, 2025 - 23:18
 0  2
Krisis Pangan Bergizi di Negeri Surga: Ironi Ketahanan Pangan Indonesia
sumber foto : pixabay

Eksplora.id - Indonesia dikenal sebagai negeri agraris dengan tanah yang subur, kaya akan keanekaragaman hayati, dan disebut-sebut sebagai “tanah surga” — tempat di mana, seperti lirik lagu legendaris Koes Plus, “lempar batu jadi tanaman.” Namun, di balik kekayaan alam yang melimpah itu, tersimpan ironi yang menyayat hati. Berdasarkan laporan Food and Agriculture Organization (FAO) tahun 2021, sebanyak 70% penduduk Indonesia tidak mampu membeli pangan bergizi.

FAO juga mencatat bahwa harga pangan bergizi di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara jika disesuaikan dengan daya beli masyarakat. Artinya, dibandingkan negara-negara tetangga, rakyat Indonesia harus membayar lebih mahal untuk bisa mengakses makanan sehat dan bergizi. Ini bukan hanya sekadar persoalan ekonomi, tetapi menyangkut hak dasar manusia: hak atas pangan bergizi dan layak.

Harga Pangan Tinggi, Petani Tak Sejahtera

Tingginya harga pangan di Indonesia tidak terjadi begitu saja. Ada rantai permasalahan yang panjang, mulai dari biaya produksi pangan yang tinggi, minimnya akses terhadap lahan pertanian, harga pupuk yang mahal, hingga kurangnya dukungan sistemik terhadap para petani. Ironisnya, meski menjadi aktor penting dalam penyediaan pangan, petani justru menjadi kelompok yang paling tidak sejahtera.

Tak hanya itu, kebijakan impor pangan yang terlalu longgar memperparah kondisi ini. Alih-alih memperkuat ketahanan pangan lokal, Indonesia justru sering membuka keran impor komoditas pangan strategis seperti beras, jagung, dan kedelai. Kebijakan ini menyebabkan harga pangan lokal sulit bersaing dan petani dalam negeri makin terpinggirkan.

Penyeragaman Pola Konsumsi: Warisan Program “Berasisasi”

Salah satu penyebab mendasar dari krisis pangan bergizi ini adalah kebijakan pangan nasional yang cenderung menyeragamkan pola konsumsi masyarakat, terutama melalui program beras-isasi. Masyarakat didorong untuk menjadikan beras sebagai satu-satunya sumber pangan pokok, mengabaikan kekayaan pangan lokal yang selama ini menopang kehidupan banyak komunitas di pelosok Nusantara.

Ubi, singkong, sagu, jagung, gembili, dan aneka jenis umbi-umbian yang dulu menjadi pangan pokok berbagai daerah kini dianggap makanan “kelas bawah.” Makan singkong dianggap sebagai simbol kemiskinan, sementara makan nasi putih menjadi standar “kesejahteraan.” Ini bukan hanya persoalan budaya, tetapi juga menciptakan ketimpangan gizi dan kerentanan pangan di masyarakat.

Padahal, Indonesia memiliki potensi luar biasa dalam keragaman sumber pangan. Setiap daerah memiliki tanaman pangan lokal yang kaya nutrisi dan mudah dibudidayakan. Namun, program sentralisasi pola makan menyebabkan masyarakat kehilangan keterhubungan dengan pangan tradisionalnya.

Kemiskinan dan Ketimpangan Akses Pangan

Kemiskinan menjadi akar dari sulitnya akses terhadap makanan sehat dan bergizi. Ketika penghasilan minim, maka yang diprioritaskan hanyalah isi perut, bukan kualitas makanan. Gizi menjadi barang mewah. Data FAO mencerminkan kenyataan bahwa akses terhadap makanan sehat bukan hanya tentang ketersediaan, tetapi tentang keterjangkauan — dan banyak masyarakat Indonesia gagal mengaksesnya.

Kondisi ini harus menjadi perhatian serius pemerintah. Pemenuhan hak atas pangan bukan hanya soal distribusi bahan pangan, tetapi juga tentang mewujudkan keadilan pangan — di mana seluruh warga negara bisa mendapatkan makanan yang layak, sehat, bergizi, dan terjangkau. Ini adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dipenuhi dan dilindungi oleh negara.

Solusi Nyata: Kembali ke Pangan Lokal dan Pemberdayaan Komunitas

Solusi terhadap krisis pangan ini tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan jangka pendek seperti pembagian makanan bergizi atau bantuan pangan instan. Yang dibutuhkan adalah kerja panjang dan kolaboratif, termasuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya ketahanan pangan berbasis komunitas.

Salah satu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah pengembangan kebun sayur keluarga untuk rumah tangga pra-sejahtera. Program ini tidak hanya membuka akses terhadap makanan sehat, tapi juga menjadi wahana edukasi dan pemberdayaan. Masyarakat kembali diajarkan untuk menanam, memanen, dan mengolah makanan dari pekarangan sendiri.

Program ini sekaligus membangun kultur menanam, membiasakan masyarakat untuk kembali mencintai tanah dan hasil bumi lokalnya sendiri. Ketahanan pangan tidak harus selalu bergantung pada pasar dan distribusi besar, tetapi bisa dimulai dari pekarangan rumah, dari komunitas terkecil: keluarga.

Ketahanan Pangan adalah Ketahanan Bangsa

Krisis pangan bergizi adalah peringatan serius bagi masa depan bangsa. Indonesia tidak kekurangan sumber daya alam, tetapi kekurangan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Negara harus berani melakukan reformasi kebijakan pangan, dari hulu hingga hilir. Mulai dari pemberdayaan petani, penguatan pangan lokal, hingga pembangunan sistem distribusi pangan yang adil dan merata.

Kini saatnya kita bertanya: jika tanah kita benar-benar subur, mengapa rakyatnya masih lapar?

Baca juga artikel lainnya :

daging in vitro masa depan pangan yang dibudidayakan di laboratorium