Jenderal Jenius di Kepingan “Receh”: Kisah Letjen T.B. Simatupang
Letjen Tahi Bonar Simatupang, sosok jenius di balik uang logam Rp500 emisi 2016. Kisah Jenderal pemikir, konflik 17 Oktober 1952, dan pengabdiannya pada bangsa.
Eksplora.id - Tak banyak yang menyadari bahwa sosok gagah pada uang logam Rp500 emisi 2016 bukanlah figur sembarangan. Wajah itu adalah Letnan Jenderal Tahi Bonar Simatupang, salah satu pemikir militer paling cemerlang yang pernah dimiliki Indonesia. Meski kini hanya terabadikan di kepingan logam bernilai kecil, kontribusinya terhadap sejarah bangsa sama sekali tidak “receh”.
Sosok Muda yang Menggetarkan Lawan
Tahi Bonar Simatupang dikenal sebagai perwira dengan kecerdasan luar biasa. Pada usia 29 tahun, ia telah menduduki posisi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, mendampingi Panglima Besar Jenderal Sudirman. Prestasi ini menjadikannya salah satu jenderal termuda dalam sejarah militer Indonesia.
Setelah wafatnya Jenderal Sudirman, Simatupang dipercaya memegang pucuk pimpinan tertinggi militer Republik Indonesia. Ia bukan hanya prajurit lapangan, tetapi juga arsitek strategi militer dan diplomasi yang membuat Belanda berada dalam posisi terdesak pada masa revolusi fisik.
Pemikir Strategi Militer dan Diplomat Ulung
Kecerdasan Simatupang diakui tidak hanya oleh rekan seperjuangan, tetapi juga oleh lawan. Ia memadukan kekuatan militer dengan kecermatan diplomasi, menjadikan perjuangan Indonesia tidak semata mengandalkan senjata, tetapi juga strategi politik internasional.
Dalam berbagai perundingan dan dinamika pascakemerdekaan, pemikirannya berperan penting dalam menjaga eksistensi TNI sebagai kekuatan nasional yang terorganisir dan profesional.
Konflik Prinsip dan Peristiwa 17 Oktober 1952
Karier cemerlang Simatupang harus terhenti akibat konflik prinsip yang tajam. Peristiwa 17 Oktober 1952 menjadi titik balik penting. Bersama Jenderal A.H. Nasution, Simatupang berselisih paham dengan Presiden Soekarno terkait campur tangan politisi sipil dalam urusan internal militer.
Simatupang berpegang teguh pada gagasan bahwa TNI harus menjadi tentara profesional, bukan alat politik atau kepentingan partai. Sikap tegas inilah yang membuat posisinya perlahan dilemahkan. Restrukturisasi Kementerian Pertahanan berujung pada pemensiunan dini dirinya dari dinas militer.
Mengabdi Tanpa Senjata
Meski harus mengakhiri karier militernya dengan pahit, Simatupang tidak memilih jalan pemberontakan. Ia justru mengalihkan pengabdiannya ke jalur pemikiran dan moral. Ia menulis buku-buku tentang strategi dan etika militer yang hingga kini menjadi rujukan penting di lingkungan akademi militer.
Selain itu, Simatupang aktif dalam pelayanan Gereja dan kegiatan sosial, menunjukkan bahwa pengabdian pada bangsa tidak selalu harus dilakukan dengan senjata atau jabatan.
Warisan Sang Jenderal Pemikir
Letjen T.B. Simatupang adalah simbol integritas, kecerdasan, dan keberanian memegang prinsip. Kisah hidupnya mengajarkan bahwa kekuasaan bisa hilang, jabatan bisa dicabut, tetapi nilai dan pemikiran akan tetap hidup melintasi zaman.
Kini, wajahnya mungkin hanya kita jumpai di uang logam Rp500. Namun sejatinya, bangsa ini berutang besar pada seorang jenderal jenius yang memilih setia pada nurani, meski harus membayar mahal dengan kariernya.
Sebuah penghormatan layak diberikan kepada Sang Jenderal Pemikir, yang namanya terukir dalam sejarah, bukan karena kekuasaan, melainkan karena prinsip.**DS
Baca juga artikel lainnya :
sosok-mulan-versi-indonesia-the-sin-nio-pejuang-yang-menyamar-jadi-pria-demi-melawan-belanda

