29 Oktober, Sejarah Kelam Dunia Penerbangan: Tragedi Lion Air JT610 di Perairan Karawang

Tanggal 29 Oktober menjadi pengingat sejarah kelam dunia penerbangan Indonesia. Pada 2018, pesawat Lion Air JT610 jatuh di perairan Karawang, menewaskan 189 orang dan meninggalkan pelajaran berharga tentang keselamatan penerbangan.

Oct 29, 2025 - 21:46
 0  74
29 Oktober, Sejarah Kelam Dunia Penerbangan: Tragedi Lion Air JT610 di Perairan Karawang
sumber foto : gg

Eksplora.id - Tanggal 29 Oktober 2018 menjadi hari yang tak akan terlupakan bagi dunia penerbangan Indonesia. Pagi itu, pesawat Lion Air JT610 yang membawa 181 penumpang dan 8 awak kabin lepas landas dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Pangkal Pinang. Namun hanya dalam 13 menit penerbangan, pesawat Boeing 737 MAX 8 itu hilang dari radar dan kemudian dinyatakan jatuh di perairan Karawang, Jawa Barat.

Tragedi ini menewaskan seluruh 189 orang di dalam pesawat. Tidak ada satu pun yang selamat. Potongan badan pesawat, barang-barang penumpang, dan serpihan logam berserakan di laut — menjadi saksi bisu dari salah satu kecelakaan paling kelam dalam sejarah penerbangan nasional.


Kronologi Singkat Tragedi

Sekitar pukul 06.20 WIB, pesawat Lion Air JT610 lepas landas. Tak lama kemudian, pilot sempat melaporkan adanya masalah teknis dan meminta izin untuk kembali ke bandara. Namun komunikasi terputus beberapa menit setelahnya.

Tim pencarian gabungan dari BASARNAS, TNI, Polri, serta relawan penyelam segera dikerahkan. Dalam waktu singkat, lokasi jatuhnya pesawat ditemukan sekitar 35 meter di bawah permukaan laut. Operasi evakuasi berlangsung berhari-hari dalam kondisi cuaca buruk dan arus laut yang kuat.

Kotak hitam pesawat akhirnya ditemukan beberapa hari kemudian. Dari hasil investigasi, diketahui bahwa gangguan pada sistem kendali otomatis (MCAS) menjadi faktor utama penyebab kecelakaan. Data menunjukkan bahwa sistem tersebut mendorong hidung pesawat ke bawah berulang kali meskipun pilot berusaha menariknya kembali.


Duka yang Menyatukan Bangsa

Ratusan keluarga korban datang ke posko identifikasi di RS Polri Kramat Jati, menunggu kabar dan hasil identifikasi jenazah. Banyak di antara mereka adalah pekerja muda, pegawai pemerintah, hingga anak-anak sekolah yang hendak kembali ke daerah asalnya.

Air mata, doa, dan pelukan menjadi bahasa yang sama di hari-hari itu. Tragedi Lion Air JT610 tidak hanya meninggalkan luka mendalam, tetapi juga menjadi simbol duka bersama bangsa Indonesia.

Salah satu keluarga korban berkata lirih,

“Kami hanya ingin mereka tidak dilupakan. Semoga dari peristiwa ini, keselamatan penerbangan kita bisa lebih baik lagi.”


Pelajaran dari Sebuah Kehilangan

Kecelakaan ini menjadi titik balik penting dalam sejarah penerbangan dunia. Setelah tragedi Lion Air, berbagai maskapai dan otoritas penerbangan global mulai meninjau ulang penggunaan Boeing 737 MAX. Tidak lama kemudian, tipe pesawat yang sama juga mengalami kecelakaan serupa di Ethiopia, dan seluruh armadanya akhirnya dilarang terbang sementara di banyak negara.

Bagi Indonesia, tragedi ini mengingatkan pentingnya transparansi, pelatihan awak pesawat, dan pengawasan teknis yang ketat. Pemerintah bersama otoritas penerbangan melakukan berbagai perbaikan sistem dan prosedur keselamatan.

Namun di luar aspek teknis, peristiwa ini juga menumbuhkan kesadaran manusiawi: bahwa setiap penerbangan membawa harapan, dan setiap nyawa yang hilang adalah kehilangan yang tak tergantikan.


Mengheningkan Cipta, Mengingat untuk Tidak Terulang

Setiap tahun, tanggal 29 Oktober diperingati secara sunyi oleh keluarga korban dan masyarakat Indonesia. Di Tanjung Pakis, Karawang, tempat jatuhnya pesawat, sejumlah keluarga masih datang untuk berdoa dan menabur bunga. Laut yang tenang kini menjadi tempat mengenang — bukan hanya kehilangan, tetapi juga harapan akan dunia penerbangan yang lebih aman dan manusiawi.

Tragedi Lion Air JT610 bukan sekadar catatan hitam dalam sejarah penerbangan Indonesia, melainkan juga pengingat bahwa kemajuan teknologi harus selalu diimbangi dengan kehati-hatian dan tanggung jawab.
Dari duka itu, bangsa belajar untuk memperkuat sistem, menghargai nyawa, dan tidak pernah melupakan mereka yang telah pergi.***

Baca juga artikel lainnya :

sejarah-transmigrasi-pertama-dari-pulau-jawa-ke-lampung-tahun-1905