2 Juta WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri, Devisa Negara Hilang Triliunan
Fenomena warga negara Indonesia (WNI) yang memilih untuk berobat ke luar negeri terus berulang dari tahun ke tahun.

Eksplora.id - Fenomena warga negara Indonesia (WNI) yang memilih untuk berobat ke luar negeri terus berulang dari tahun ke tahun. Berdasarkan data terbaru, pada tahun 2023 tercatat sekitar 2 juta WNI melakukan perjalanan medis ke luar negeri, terutama ke Malaysia dan Singapura. Pilihan ini bukan hanya karena faktor teknologi dan layanan medis, tetapi juga karena biaya pengobatan yang dinilai lebih terjangkau dibandingkan dengan di dalam negeri.
Ironisnya, tren ini telah menyebabkan hilangnya potensi devisa negara dalam jumlah besar. Sebagian besar WNI yang berobat ke luar negeri membayar dengan dana pribadi tanpa menggunakan asuransi Indonesia, sehingga uang tersebut langsung mengalir ke ekonomi negara tujuan, bukan kembali ke dalam negeri.
Malaysia dan Singapura Jadi Tujuan Favorit Berobat
Dari berbagai negara tujuan, Malaysia dan Singapura menempati posisi teratas sebagai destinasi favorit WNI untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. Lokasi yang dekat, bahasa yang tidak terlalu menjadi hambatan, serta sistem medis yang tertata rapi menjadi alasan utama masyarakat lebih memilih kedua negara ini.
Namun yang paling menonjol adalah faktor biaya. Biaya pengobatan di Malaysia khususnya, disebut-sebut jauh lebih murah dibandingkan Indonesia. Salah satu penyebab utamanya adalah harga obat yang lebih rendah di sana.
Harga Obat Jadi Sorotan
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, dalam beberapa kesempatan menyatakan bahwa harga obat di Indonesia bisa mencapai lima kali lipat lebih mahal dibandingkan Malaysia. Hal ini terutama berlaku untuk dua jenis obat, yaitu obat generik bermerek dan obat paten atau inovatif.
Obat generik bermerek adalah obat generik yang diproduksi oleh perusahaan farmasi besar dan dijual dengan nama dagang tertentu. Sementara itu, obat paten merupakan hasil penelitian dan pengembangan jangka panjang oleh perusahaan farmasi multinasional yang belum habis masa perlindungannya, sehingga belum bisa diproduksi secara bebas.
Tingginya harga obat jenis ini menjadi kendala besar bagi pasien dalam negeri, khususnya mereka yang tidak memiliki perlindungan asuransi kesehatan yang memadai. Kondisi ini membuat banyak orang memilih alternatif berobat ke luar negeri, di mana harga obat bisa lebih rasional dan transparan.
Tanggapan dari Ikatan Apoteker Indonesia
Menanggapi pernyataan Menkes, Ketua Umum Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), Noffendri, memberikan pandangannya. Ia menyebut bahwa anggapan bahwa semua obat di Indonesia mahal sebenarnya kurang tepat. Menurutnya, harga obat generik biasa masih relatif terjangkau dan tersedia di banyak fasilitas kesehatan.
Noffendri menegaskan bahwa hanya dua kategori obat yang tergolong mahal di Indonesia, yaitu obat generik bermerek dan obat paten dari perusahaan multinasional. Kedua jenis obat ini memang memiliki harga tinggi karena dipengaruhi oleh hak paten, biaya distribusi, serta strategi pemasaran dari produsen global.
Namun demikian, masyarakat sering kali tidak mendapatkan informasi yang cukup mengenai alternatif obat generik biasa yang lebih murah. Minimnya edukasi dan transparansi harga turut memperparah persepsi bahwa semua obat di Indonesia mahal.
Dampak Ekonomi dan Tantangan Pemerintah
Dampak dari banyaknya WNI yang berobat ke luar negeri tidak bisa dianggap sepele. Dengan sekitar 2 juta orang setiap tahun, dan asumsi pengeluaran rata-rata per pasien mencapai belasan hingga puluhan juta rupiah, maka potensi kerugian devisa yang dialami negara bisa mencapai triliunan rupiah.
Selain kehilangan devisa, situasi ini juga menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap sistem layanan kesehatan dalam negeri. Pemerintah Indonesia pun menghadapi tantangan besar untuk membenahi ekosistem kesehatan, mulai dari transparansi harga, efisiensi sistem distribusi obat, peningkatan kualitas tenaga medis, hingga pembangunan rumah sakit berstandar internasional.
Upaya dan Harapan Ke Depan
Beberapa inisiatif telah digagas oleh pemerintah, seperti pembangunan rumah sakit internasional di beberapa daerah, serta penguatan industri farmasi dalam negeri. Selain itu, pemanfaatan teknologi informasi dan integrasi data pasien secara nasional juga terus dikembangkan untuk meningkatkan kualitas layanan.
Namun, tanpa pembenahan pada aspek fundamental seperti regulasi harga obat dan distribusi obat generik yang adil, masyarakat akan tetap merasa bahwa berobat ke luar negeri adalah pilihan yang lebih menguntungkan.
Harapannya, dengan reformasi yang berkelanjutan, layanan kesehatan di Indonesia bisa bersaing secara kualitas dan biaya dengan negara tetangga. Sehingga, masyarakat tidak perlu lagi jauh-jauh mencari pengobatan di luar negeri dan devisa negara bisa tetap berputar di dalam negeri untuk memperkuat sistem kesehatan nasional.
Baca juga artikel lainnya :
malaysia akan deklarasi sebagai negara maju tahun ini melampaui indonesia 20 tahun lebih cepat